Di balik kabut pagi yang menggulung lembah, seorang lelaki tua berjalan perlahan, menapaki tanah basah yang masih menyimpan embun. Rambutnya memutih, langkahnya tidak tergesa, namun matanya menyala seperti bara dalam kayu yang diam. Ia bukan siapa-siapa bagi dunia, namun bagi dirinya, ia adalah dunia itu sendiri. Lelaki itu telah mengarungi perjalanan panjang, bukan sekadar lintasan raga, tetapi lorong batin yang penuh tanda tanya.
Hidup baginya bukan hanya perkara lahir dan mati, tapi soal "mengingat" elingo marang sangkan paraning dumadi. Sebagaimana tertulis dalam kitab-kitab kasunyatan, hidup adalah jembatan antara rahsa dan nyata, antara bayang dan cahya. Dalam kesunyian malam, di bawah sinar rembulan yang redup, ia sering menggumamkan mantra: “Sopo kang eling lan waspodo, iku kang slamet.”
Perjalanan spiritualnya bermula dari luka. Ketika segala hal di dunia membuatnya jengah kekuasaan, harta, cinta yang palsu , ia memilih keluar dari keramaian. Di puncak Gunung, bukan untuk sakti, tapi untuk diam. Di sana ia bertemu dirinya sendiri dalam bentuk paling jujur, tanpa topeng. "An unexamined life is not worth living." – Socrates
Kutipan itu seperti cahaya yang tak pernah padam di dalam pikirannya. Lelaki itu menyadari bahwa kehidupan yang tidak direnungkan adalah kehidupan yang kosong. Maka setiap detik, setiap desahan napas, adalah ladang kontemplasi. Ia tidak lagi mencari Tuhan di langit tinggi, tapi di denyut nadi, di tarikan napas, di bisik daun yang jatuh di halaman rumah sederhananya.
Dalam lelaku, ia belajar bahwa kasunyatan bukan tentang menjawab segala pertanyaan, tapi mampu hidup berdampingan dengan misteri dan alam. Ia menyadari bahwa terang dan gelap bukan musuh, melainkan pasangan sejati dalam setiap kehidupan. Seperti dalam ajaran Jawa, "urip iku mung mampir ngombe", dan air itu bukan sekadar pelepas dahaga, tapi simbol pembersih atau pemurnian, dan sebagai lambang kehidupan.
"Kebijaksanaan sejati adalah saat seseorang sadar bahwa ia tak tahu apa-apa," gumamnya suatu malam, mengulang kata-kata Sokrates sambil memandangi bintang yang berjajar di angkasa. Ia tidak lagi merasa harus benar, cukup merasa dekat. Dekat dengan keheningan, dekat dengan kesadaran, dekat dengan Sang Sumber kehidupan.
Hidupnya menjadi doa panjang yang tak terucap, namun terasa. Ia tidak berkhutbah, tidak menasihati, tapi kehadirannya mengajarkan, bahwa kebahagiaan bukan di ujung perjalanan, tapi dalam tiap langkah yang disyukuri.