Aku memang PEMALAS.
tak berubah dari dulu ketika berseragam sampe sekarang menjadi seorang yg
katanya "mahasiswa".
ini semua yg membuat semuanya tertunda, membuat semuanya tidak terarah,
membuatku lemah, dan membuat lelah, tentunya oleh diri yg salah.
"diam" ku, justru dengan diamku, diam yg bukan acuh tak acuh
tentunya, yg membuatku bisa diterima siapapun, di manapun.
beberapa pengalaman rasa sakit hati dari beberapa wanita yg dulu pernah
bilang sayang kepadaku.
tapi setidaknya mereka pernah sayang padaku, dan justru aku berterima kasih
atas rasa sakit yg luar biasa sakitnya itu.
ini yg kemudian ku nilai sebagai proses mendewasakan diri dalam bersikap,
berfikir, dan berupaya dalam mencari obat (jalan keluar) yg tentu mesti tetap
dilalui menuju sebuah "tangga" yg lebih tinggi lagi, atau harus rela
turun satu tangga hanya karena rasa sakit yg menyebabkan putus asa.
tak apalah, semua orang mengalaminya.
banyak di sini yg mengharapkan sebuah masa depan yg menjanjikan dari diri,
seolah mereka melihatku layaknya orang yg melihat "keatas".
padahal sebenarnya akulah yg berada jauh di bawah mereka.
mereka yg katanya hanya seorang buruh bangunan, tukang becak, tukang
parkir, buruh pabrik, buruh kantoran, dan buruh-buruh lainnya yg mereka
semua merasa rendah.
tapi mereka jauh lebih punya pengalaman dan hidup yg sudah terjanjikan,
hidup yg sudah bisa mereka topang sendiri dengan segala upayanya.
dan aku..,
aku hanya pernah punya pengalaman (ketika dulu masih berseragam SMA),
membawa gitar, mengelilingi perkampungan, perumahan, perkantoran, dan pertokoan
di pinggir jalan (ngamen) hanya sebatas untuk mendapatkan sesuatu yg dulu
sangat disukai.
tentu bukan sebuah penghasilan yg menjanjikan sebuah "hidup"
bagiku.
dan sekarang, ketika waktu sudah banyak terbuang..
kembali beliau mengingatkan, hanya mengingatkan; "NEK WES SADAR
AKEH WEKTU SING DIBUANG IKU BAKAL GELO SAK GELO-GELONE, KERANA WEKTU GAK PERNAH
ISO BALI MENEH (kalo udah sadar banyak waktu yg terbuang, akan menyesal dg
amat sangat, karena waktu gak akan pernah bisa kembali lagi)."
ternyata hanya berkutat di sini saja perjalanan hidup (sementara) ku ini.
beliau menyampaikan harapan-harapannya, mimpi-mimpinya kepada anak laki-laki pertamanya.
beliau menegaskan sebuah upaya yg telah ditempuhnya untuk menunaikan
kewajiban kpd anak-anaknya, apa pun, hanya sebatas demi memenuhi kewajibannya
sebagai orang tua.
dan selebihnya, anak sendirilah yg menentukan masa depannya, bukan
beliau-beliau itu.
ya, aku memperhatikan semua perkataan itu.
aku gak bisa berjanji apa-apa.
aku hanya akan mengupayakan semuanya, sama seperti beliau yg "hanya
sebatas memenuhi kewajibannya sebagai orang tua", untuk memenuhi
kewajibanku sebagai seorang anak, yg sadar punya tanggung jawab ke depan
tentunya.
ya, kewajiban sebagai seorang anak yg "SADAR", yg harus mampu
membanggakan orang tuanya.
inilah yg kemudian kusimpulkan menjadi sebuah ungkapan;
"Melihat ke Belakang: sebagai pengalaman sia-sia yg berharga".